Kewaspadaan Dalam Menghadapi Globalisasi

Kewaspadaan Dalam Menghadapi Globalisasi. Tanpa harus dikelompokkan sebagai kubu antiglobalisasi, yang juga harus diungkapkan adalah sisi gelap globalisasi. Pertama, kasus actual kemerosotan ekonomi dunia saat ini. Seorang kolumnis Boston Globe mengatakan ”dalam dunia yang menciut, baik dan buruk dapat dengan mudahnya berpindah-pindah. Saat ini, kekuatan gelap globalisasi tampaknya lebih kuat mengenggam.” Dalam kenyataan ekonomi dikatakan, keterkaitan yang erat di antara negara-negara telah mengakibatkan kemerosotan ekonomi AS merambat ke Eropa, Asia, dan Amerika Latin. Kenyataan itu juga menciptakan beban pasar global. Sejak Maret 2000, harga saham perusahaan-perusahan asal AS sebagaimana diukur oleh Standard & Poor adalah 500, turun sekitar 40 persen. Dalam periode yang sama, harga saham turun 42 persen di Inggris, 57 persen di Prancis, dan 63 persen di Jepang. Setelah itu pengaruh negatifnya menyebar ke seluruh negara.

Charles Stein juga mengungkapkan bahaya deflasi (menurunnya kegiatan ekonomi, produksi yang disertai meningkatnya pengangguran) yang melanda dunia yang bisa segera merembet ke semua negara termasuk negara-negara miskin. Kombinasi dari kelebihan produk (overcapacity) di banyak industri dan naik kelasnya negara berbiaya rendah seperti Cina telah memberikan tekanan pada harga-harga. Harga rendah adalah suatu plus. Sementara, harga jatuh bisa merupakan petaka. Dia pun mengutip kesaksian Gubernur Bank Sentral AS waktu itu, Allan Greenspan, di depan Kongres AS yang memperingatkan bahaya deflasi tersebut, dengan mengatakan hal itu akan memaksa kalangan bisnis untuk memotong biaya. Bagian dari upaya pemotongan biaya ini menyangkut pekerjaan outsourcing ke negara-negara berkembang yang pada gilirannya akan memperparah situasi pengangguran.

Kemudian, kasus lama tetapi masih tetap aktual, yaitu kemiskinan. Tak kurang satu studi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melaporkan, antara lain, akibat dari globalisasi jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan absolut (extreme poverty) di NSB lebih besar daripada yang terpikirkan sebelumnya, yakni 307 juta orang di mana mereka hidup kurang dari satu dolar AS sehari. Dan jumlahnya akan meningkat menjadi 420 juta dalam satu setengah dasawarsa ke depan.

Sesungguhnya, dalam kenyataannya perekonomian industri selama 40-50 tahun yang lalu telah menjadi perekonomian pasca industri. Mayoritas penduduk bekerja disektor jasa. Organisasi Buruh Sedunia (ILO) mengungkapkan, bahwa hampir 80 persen penduduk yang bekerja di dunia dewasa ini berasal dari negara berkembang. Sembilan dari sepuluh pekerja yang memasuki angkatan kerja di dunia diperkirakan berasal dari negara berkembang.

Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat 500 MNC terbesar di dunia mengendalikan 70 persen perdagangan dunia, yang terdiri dari 1/3 ekspor manufaktur, ¾ perdagangan komoditas, dan 4/5 perdagangan jasa teknik dan manajemen. Raksasa MNC tersebut menguasai 2/3 investasi di negara-negara berkembang. Tahun lalu, terdapat lebih dari 60 ribu MNC dengan 700 ribu cabang di seluruh dunia.

Kontrasnya dari sisi tenaga kerja, ILO memperkirakan setidaknya 246 juta anak berusia 5-14 tahun bekerja penuh atau paro-waktu setiap hari di dunia, terutama di Negara berkembang. Perkiraannya, 150-160 juta orang, 70 juta dari Cina dan 50 juta darii Afrika bekerja di luar negara mereka dalam kaitan kerawanan kondisi kerja. Termasuk, bekerja di pabrik-pabrik buangan beracun.

Selanjutnya, kebijakan-kebijakan globalisasi memungkinkan pergerakan bebas lintas batas produk dan modal. Namun globalisasi juga jauh dari mengurangi arus migrasi internasional, yang tekanan-tekanannya justru akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Sementara, pergerakan bebas barang dan modal antara negara-negara kaya dan miskin tidak cukup besar untuk mengimbangi kebutuhan lapangan kerja di negara-negara miskin.

Di sini, kita harus berbicara tentang globalisasi tenaga kerja. Kita tidak lupa mencatat bahwa dewasa ini bangsa kita menghadapi problem pengangguran yang jumlahnya sekitar 40an juta orang, serta rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Globalisasi ala WTO (World Trade Organization) bukannya memperingan bahkan dapat lebih memperburuk keadaan.

Dengan menyadari tantangan dari adanya paradoks globalisasi tersebut terhadap situasi ketenagakerjaan, maka isu peningkatan standar kompetensi tenaga kerja di berbagai sektor industri barang dan jasa kita, selayaknya sejalan dengan upaya yang dilakukan oleh kalangan pelaku bisnis. Hal ini untuk meningkatkan produktivitas maupun penguatan daya saing bangsa kita di mancanegara.
Khusus tentang standar kompetensi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, adalah merupakan faktor penting dalam menguji kesungguhan kita mengantarkan mereka menjadi pemain kelas dunia. Upaya pembenahan TKI selama ini seolah jalan di tempat, masalah-masalah yang berulang-ulang ditemukan di lapangan yang seharusnya bias terpecahkan secara sistematis. Padahal, pada 2002, mereka telah menyumbang 3,2 miliar dolar atau mendekati Rp 30 triliun diperkirakan jumlah tersebut baru sekitar 50 persen yang tercatat di perbankan.

Dikutip Dari Berbagai Sumber

0 Response to "Kewaspadaan Dalam Menghadapi Globalisasi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel